Sunday, May 27, 2007

Jogjakarta, hari ini, satu tahun yang lalu..

Hari ini, tepat satu tahun sudah, peringatan itu terjadi.. Peringatan yang merenggut nyawa banyak orang, peringatan yang dipenuhi darah, tangis, dan hilangnya harapan. Sebuah peringatan yang, seharusnya, bisa menyadarkan banyak orang bahwa kita itu bukan siapa-siapa, bahwa segala keangkuhan dan kerakusan, emosi dan hawa nafsu tanpa batas, tidak akan membawa kita kemana-mana selain mimpi buruk tiada henti. Tangis itu masih terngiang di kepalaku, darah itu masih tercium, rintihan itu masih terdengar, dan airmataku belum kering sepenuhnya hingga kini. Betapa segala harapan, asa, dan ikhtiar manusia, sebesar apapun itu, tidak akan mampu melebihi kuasa Dia.

Jogja saat itu, benar-benar menjadi jogja yang belum pernah sekalipun dibayangkan orang sebelumnya, setelah gempa dahsyat di pagi harinya, kota ini menjadi layaknya kota mati. Setelah semua orang berbondong-bondong lari ke utara, termakan isu gelombang tsunami, jogja seakan menjadi kota mimpi buruk tiada henti (sum people said, Jogja, Never Ending Nightmare). Ketika gempa, aku berada di semarang, mengikuti pertemuan tahunan CIMSA, pun begitu, aku tetap merasakan adanya gempa, secara kamarku ada di lantai3, dan gempa yang terjadi di Jogja, begitu terasa, walaupun aku saat itu tidak menduga, bahwa asal gempa ada di Jogjakarta. Ironisnya, ketika teman-teman mahasiswa lainnya berkata bahwa asal gempa ada di Jogja, aku tetap santai dan tenang, karena gempa bukan hal yang aneh untuk ukuran orang yang hidup di negara rawan bencana. Tapi ketika melihat berita utama berbagai stasiun tv, jantung ini serasa berhenti berdetak, Tuhan, gempanya parah sekali. Semua tv menayangkan orang-orang yang lari panik, ketakutan, rumah-rumah yang roboh, tangis, jeritan, terdengar dimana-mana, saat itu juga aku sadar, Jogja sedang dicoba. Beberapa teman dari jogja memutuskan untuk pulang terlebih dahulu di pagi itu, sementara aku dan beberapa teman yang tersisa,memutuskan untuk meneruskan pertemuan yang tinggal sehari itu, tentu saja, setelah aku memastikan bahwa keadaan keluarga di jogja baik-baik saja. Pertemuan setelah itu pun, berjalan sangat tidak sesuai dengan yang telah direncanakan, semua orang berpikir tentang aksi kita selanjutnya, sebagian teman ada yang turun ke jalan mengumpulkan uang, sebagian lagi rapat mendadak mengumpulkan segala informasi yang bisa terkumpul. Aku yang walaupun pada waktu itu juga berada di balaikota semarang, bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain, tapi fokusku tidak ada di pertemuan dan rapat lagi, perhatianku selalu tertuju pada tv di lobby balaikota, pada ponselku, dan pada Jogja, tidak ada konsentrasi sedikit pun pada pertemuan. Dan semua rasa itu pun memuncak di siang harinya, ketika salah satu senior CIMSA berdiri diatas podium dan memberi informasi semua kabar yang terjadi seputar gempa, (mulai dari isu tsunami, eksodus besar-besaran warga kota, sampai ke penutupan akses masuk ke jogja), seketika itu juga aku tak mampu menahan lagi air mata ini untuk keluar, aku menangis..Dan kuputuskan, aku dan semua teman yang tersisa dari UGM, untuk pulang saat itu juga..

Begitu sampai perbatasan Jogja-Jateng, dan memasuki jalan Magelang, kita sempat terkecoh juga, karena tidak tampak sama sekali kerusakan-kerusakan berarti, warung-warung masih buka, masyarakat tampak beraktifitas seperti biasa, tidak nampak seperti baru saja ada bencana besar, aku sempat mengumpat seniorku tadi yang begitu melebih-lebihkan keadaan. Tapi sesampainya kita ke dalam kota Jogja, semua dari kita tak henti-hentinya beristighfar, Jogja seperti kota mati, tak ada kehidupan, orang-orang berlindung di tenda yang mereka buat sendiri di pekarangan rumah, warung-warung tutup, gedung-gedung bertingkat hancur, mulai dari Gramedia, gedung-gedung perkantoran di jl.Sudirman, sampai Saphir Square dan Amplaz yang sudah tidak berbentuk lagi. Aktifitas yang tampak nyata hanya terlihat di rumahsakit, korban-korban berhamburan sampai ke jalan. Begitu sampai di rumah, aku bersyukur karena tidak ada kerusakan berarti di rumahku, dan semua tampak baik-baik saja, kecuali adikku yang memang masih tampak trauma. Ponsel juga tak henti-hentinya berbunyi, banyak senior di CIMSA yang menghubungiku, dari menanyakan kondisi terkahir Jogja sampai memintaku memfasilitasi beberapa bantuan medis dari Jakarta. Ketika sedang genting-gentingnya suasana, sempat-sempatnya ponselku rusak, sial. Setelah meminjam ponsel adikku, aku langsung pergi ke RS Sardjito, pikiranku masih kacau dan entah kemana. Begitu sampai Sardjito, kebingungan lainnya muncul, apa yang mesti aku lakukan? Ada ribuan korban tergeletak disana, hingga selasar rumah sakit dan tempat parkir pun penuh. Bantuan medis dari jakarta belum datang, dan begitu banyak orang lalu lalang tak tentu disitu, dokter, perawat, mahasiswa kedokteran, sampai korban gempa, sama paniknya, beruntung sekali Sardjito saat itu memang sudah khusus dipersiapkan untuk penanganan bencana gunung Merapi, jadi staf medis sedikit banyak mengerti apa yang harus dilakukan.

Masih ingat juga di benakku, ketika bantuan medis dari jakarta datang, mereka naik ambulans, dan salah satu dari mereka ,dr.Riyadh, seorang residen anestesi waktu itu, adalah seniorku di CIMSA. Dan saat itu juga dia memintaku untuk membantunya menangani operasi para korban gempa di ruang operasi darurat di Sardjito. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memakai pakaian steril untuk operasi, rasanya hangat, entah karena diriku memang sebegitu paniknya hingga pakaiannya terasa hangat. Setelah itu masalah lainnya muncul, apa yang bisa aku lakukan dengan pakaian operasi dan masuk ke ruang operasi??? Aku masih mahasiswa kedokteran tahun pertama waktu itu, belum bisa apa-apa. Bang Riyadh menyuruhku untuk memasang IV-line, yang kebetulan aku sedang mempelajarinya di kampus waktu itu, dan dokter di sebelahku menyuruh memasang transfusi darah, My God! How am i supposed to do that??!! Untungnya, salah seorang dari tim menyuruhku melakukan hal lain yang lebih simpel, menaruh semua barang bawaannya ke ruang istirahat.. Saved by that.. Tetap saja aku mengumpat diriku yang sebegitu bodohnya, memasang IV-line saja gak bisa, kuliah kedokteran susah-susah kok cuman buat bawa-bawa barang ke ruang istirahat.. satu kebetulan yang terjadi saat itu adalah, malam tersebut seharusnya menjadi malam evakuasi buat calon anggota Tim Bantuan Medis Mahasiswa FK UGM, dimana tiap calon anggota menjalankan skenario seolah-olah sedang melakukan evakuasi, dan ternyata malam itu menjadi malam evakuasi yang sesungguhnya tanpa embel-embel skenario untuk kita semua.

Dan hari-hari sesudahnya aku isi dengan rasa capek, penat, sedih, miris, marah, senang, terharu yang tercampur aduk menjadi satu, baru kali itu aku merasa semua orang memiliki satu tujuan yang sama, segala perbedaan terlebur menjadi satu visi, memberikan segala usaha yang kita miliki untuk menolong sesama. Tangan Tuhan menyatukan kita semua. Semoga tidak perlu bencana sedahsyat itu lagi untuk menyatukan kita. Yang jelas, itu adalah suatu peringatan buat kita, untuk mengkoreksi diri, melebur nafsu menjadi asa, berikhtiar mimpi menjadi nyata.

Sedih rasanya, ketika kita sudah diperingatkan sedemikian hebatnya, tapi masih banyak dari kita yang lupa. Lupa bahwa kita dulu menangis memohon ampun, meratapi nasib, dan berbondong-bondong kembali pada-Nya. Lupa kalau kita, setahun yang lalu, berjanji untuk menyerahkan sepenuh hidup kita untuk menjadi hamba yang kaffah. Sekarang ketika keadaan sudah menjadi lebih baik, nafsu itu kembali muncul, keangkuhan itu tumbuh kembali, dan banyak dari kita yang melupakan janji kita setahun yang lalu, tangis kita setahun yang lalu, rintihan kita setahun yang lalu..

Dan saat ini, aku bercerita bukan untuk membuka kembali luka lama kita, aku hanya ingin mengingatkan diriku, untuk selalu ingat akan airmata yang aku teteskan ketika memohon ampun dulu. Aku masih suka lupa, akan apa-apa yang sudah diperingatkan padaku. Hari ini, setahun yang lalu, aku menangis, dan hari ini, saat ini, aku mengingat..


mengenang satu tahun gempa jogja..
untuk semua kenangan di balik kesedihan..

1 comment:

Astuti said...

semua kejadian ada sisi positif & negatifnya, tinggal kita melihat dari sisi mana. berpikir yang positif akan menyehatkan jiwa..begitu denta??